Sunday, January 13, 2019

14 Januari 1996

14 Januari 1996

Kepala pusing. Ngomong sering ngaco. Menghayal ngga habis-habis. Tetapi ada perasaan bahagia yang menyelimuti perasaan-perasaan tadi. Itu yang kurasakan di hari-hari menjelang tanggal itu.

Gimana ngga galau, tanggal pernikahan sudah ditetapkan, tapi tabungan ngga mencukupi. Tadinya pernikahan akan diadakan setengah tahun lagi. Rasanya akan cukuplah ngumpulin duit buat acara pernikahan yang sederhana sih. Tapi apa mau dikata, orangtua si sayang minta dipercepat. Ditangtangin begitu ya aku sih siap-siap aja. Meskipun jadi pusing, tapi  tetap campur senang.

"Sudah biar mas kawin dari tabungan ibu aja. Cukuplah untuk beberapa gram aja sih," ibuku siap membantu. Menyisihkan dari tabungannya.  Bahkan bukan itu saja, ibu juga  mau memberikan beberapa barang buat barang-barang bawaanku saat pernikahan.

Tapi kebutuhanku masih kurang banyak. Tabunganku terpakai membeli sepasang cincin untuk acara tukar cincin dua bulan lalu, dan sisanya dipakai untuk membeli barang-barang bawaan buat lamaran.

Dengan berat hati, akupun bercerita tentang kesulitanku kepada orangtua si sayang.

"Ya, sudah cincin tunangan itu jual lagi aja. Ganti buat menambah biaya acara pernikahan. Lagipula tukar cincin kan ngga mesti, sedangkan syukuran pernikahan kan harus meskipun sederhana," kata ortu si sayang memberi solusi yang luar biasa meringanku. Alhamdulillah.

Tapi acara syukuran pernikahan kan biayanya ngga sedikit, sedangkan cincin tunangan ngga seberapa banyak. Memang benar acara syukurannya di kediaman orangtua si sayang, tapi masa iya aku menyerahkan sebagian besar pada orang tua si sayang, kan malu-maluin banget. Tapi mau bagaimana lagi, aku ngga punya jalan keluar, kecuali terpaksa minjam.

"Yang, aku mau pinjam uang sama si Muis," kataku pada si sayang. Karena hanya Muis, teman kuliahku dan keluarganya yang mungkin bisa kumintai pinjaman. Aku merasa sudah akrab dengan keluarga temanku itu.

"Buat apa?"

"Ya, buat acara syukuran pernikahan kita lah. Aku sudah ngga punya duit. Mudah-mudahan dia atau orangtuanya bisa membantuku."

"Ya, sudah. Terserah saja."

"Tapi sebelumnya aku harus bilang sama kamu. Karena uang itu boleh dari minjam, maka tentu saja harus dibayar.  Jadi nanti itu jadi hutang kita setelah menikah. Gimana menurutmu?"

Si Sayang menyetujui. Akhirnya aku datangi temanku Muis, dan bercerita apa adanya. Alhamdulillah, dia dan keluarganya mau meminjamkan uang sejumlah dua juta rupiah. Bukan jumlah yang kecil saat itu, harga emas perhiasan saja masih sekitar tigapuluhribu rupiah per gram. Alhamdulillah lagi. Untung aku punya sahabat yang baik, dan kebenaran sedang ada uang.

Untuk mengirit budget segala hal kusiasati. Banyak hal yang kubuat agar keluar uangnya tidak banyak.  Jas untuk acara pernikahan aku tidak membelinya, apalagi boleh memesan dari suatu tailor.  Aku hanya minjam dari seorang teman yang punya jas. Seratus persen pinjaman cuma-cuma. Tetapi karena jas pinjaman, yang sesuai dengan tubuhku hanya atasannya saja, sementara celananya terlalu pendek. Tapi biarlah yang penting pakai jas. Syukur juga ada yang menjamin. Alhasil warna jas dan celananya berbeda waktu acara ijab Kabul.

Selain itu rombongan yang terdiri dari teman dan saudara hanya sedikit saja yang kuajak ke Garut, kampungnya istri. Itu untuk mengirit ongkos. Bodo amat yang penting sah, dan bisa nikah. Asyik!

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TULIS PESANMU