Monday, December 31, 2018

Malam Tahun Baru (Merebut Terompet)

Malam Tahun Batuan
(Menjambret Terompet)

Malam tahun baruan di Jakarta  masih  tergambar di pikiran. Sepanjang jalan Gajahmada dan Hayam Wuruk ramai, kendaraan  berjalan perlahan. Para pengendara mobil dan motor meniup terompet dari kendaraannya. Aku dan teman-teman juga menikmati tahun baruan, meskipun hanya berjalan kaki saja. Buat kami, anak-anak yang tahun baruannya berjalan kaki,  jangankan untuk membeli terompet, buat beli makanan saja pakai patungan.

Walaupun tidak membeli terompet, tapi seringkali kami juga bisa meniup terompet tahun baru.  Terompet yang kami dapat dari hasil merebut paksa dari orang-orang yang berada di  mobil.  Biasanya mereka menjulurkan terompet itu keluar, disaat mereka lengah itulah kami merebutnya.  Meskipun  dapatnya ngga utuh. Seringkali hanya potongan atasnya saja. Tapi kami cukup senang, yang penting masih bisa ditiup dan berbunyi.

Jarang kulihat si pemilik terompet marah-marah. Biasanya mereka hanya berteriak kaget. Kalau ada yang marah, mungkin para pendatang saja yang belum tahu ada kebiasaan merebut terompet  di dua jalan besar itu. Bahkan ada yang sengaja menjulurkan terompet yang sudah rusak. Terus apabila kami rebut, mereka tertawa-tawa mengejek kami yang sudah berhasil ditipunya. .

Ada juga yang lebih sadis, selain terompet yang dijuluarkan ke luar mobil itu sudah rusak, sempat-sempatnya juga diberi bonus ingus di lubang tempat meniupnya. Jadi boro-boro nyaring berbunyi itu terompet, malahan justru ada rasa asin-asinnya ketika mulut meniup. Gimana ngga  asin, ya ingus yang dijilat.

Akh, tahun batuan masa kecil memang asyik.

Friday, December 28, 2018

Begok Juga Punya Toko

Begok Juga Punya Toko
(Catatan lama)

Kalau dipikir-pikir menjadi guru itu begitu banyak warna. Banyak yang menyenangkan, tapi tidak sedikit yang menyedihkan. Namun semua itu merupakan pegalaman yang tidak terlupakan. Kalau saja rasa syukur terus ditumbuhkan, maka potongan-potongan pengalaman tersebut menjadi rangkaian kehidupan yang indah untuk dikenang.

Sekolah kami adalah sekolah swasta kecil. Berdiri ditengah-tengah keramaian hiruk-pikuk pusat perdagangan. Muridnya heterogen, datang dari berbagai suku dan strata ekonomi yang berbeda-beda. Tapi rata-rata kemampuan belajarnya lambat. Mungkin karena guru-gurunya seperti aku, tidak profesional.

Para orangtua yang berkecukupan, atau bahkan berkelebihan bukannya senang memasukkan anak-anaknya di sekolah itu. Mereka kebanyakan sudah frustasi memindah-mindahkan anaknya dari sekolah-sekolah bagus yang bayarannya mahal.

"Di sekolahkan di tempat yang bagus dan mahal juga percuma saja. Bukannya belajar dengan baik, malahan menghabis-habiskan uang orangtua saja kerjaannya," itu salah-satu alasan dari orangtua. Maklum mereka adalah para pedagang, apapun dihitung dari untung ruginya secara finansial.

Bagi para orangtua kaya memasukkan sekolah di tempat kami yang kecil dan tidak favorite, sekedar jangan sampai anaknya tidak sekolah saja. Biayanya juga tidak terlalu mahal.

Sementara kami menerima anak-anak dari orangtua kaya itu untuk menutupi biaya operasional. Karena kami juga menerima anak-anak dari keluarga kirang beruntung yang bayarannya sering nunggak berbulan-bulan atau bahkan sama-sekali tidak mampu membayar.

Sebenarnya dilematis menerima anak-anak pindahan yang orangtuanya kaya itu. Mereka justru menambah persoalan. Kebanyakan dari mereka membawa dampak buruk bagi siswa lainnya. Kebanyakan kebiasaan buruk mereka adalah judi dan mabuk-mabukkan. Kami para guru, berkerja keras membimbing mereka agar sedikit berubah kebiasaannya. Sementara itu kami juga berusaha memberi pengarahan kepada siswa lainnya agar tidak terbawa-bawa kebiasaan buruk itu.

Suatu hari di bulan Ramadhan, aku berada di sekolah lebih lama. Sepulang sekolah mengadakan pelajaran tambahan lebih dulu untuk siswa kelas tiga. Sesungguhnya aku tidak terlalu berharap mereka masuk ke perguruan tinggi negeri, cukup asalkan nilai NEM Matematika mereka tidak kecil-kecil amat.

Setelah sekitar setengah jam mengajar, pekerjaanku terusik dengan suasana di luar kelas. Dari balik jendela kulihat banyak anak-anak berjalan ke kelas yang di pojok sekolah. Aku curiga pasti ada sesuatu yang tidak beres. Jam sekolah sudah selesai dan guru-guru yang lain sudah pulang. Karena kuatir ada masalah yang gawat, segera kuhentikan pelajaran. Kemudian cepat-cepat pergi ke kelas pojok yang mencurigakan. Sesampainya di kelas itu, benar saja kulihat suasana yang luar biasa menjenggelkan. Kelas tersebut penuh dengan anak-anak yang sedang bermain judi pakai kartu remi. Terdiri dari beberapa kelimpok.

Sebenarnya ada keraguan untuk mengusir mereka waktu itu. Bukan apa-apa bagi para penjudi, terutama yang kalah, emosi mereka bisa meledak jika dihentikan permainannya. Tapi aku berpikir cepat, segala resiko akan kuambil. Selagi bulan Ramadhan, alangkah jelekknya membiarkan para muridku bermain judi.

"Hay, semuanya pada pulang! Ambil duit kalian masing-masing!" perintahku setengah hati.

Syukurlah mereka tidak melawan dan mau menuruti perintahku. Walau ada yang sambil bersungut-sungut mereka semua keluar dari sekolah.

Besoknya kejadian tersebut kuceritakan kepada wakil kepala sekolah.

"Jadi Bapak sudah membubarkan mereka?" tanya Pak Wakasek kepadaku.

"Sudah, Pak. Lantas bagaimana tidak lanjutnya? Kapan kita memanggil orangtua mereka?"

"Buat apa? Percuma saja. Ini bukan pertama kali terjadi," jawab Wakasek. Terdengar seperti orang yang tidak perduli atau mungkin sudah frustasi.

"Masakan begitu, Pak. Mereka harus diproses. Orangtua mereka harus dipanggil dan harus membuat perjanjian. Bermain judi itu pelanggaran, sudah gitu di sekolah lagi."

"Sudahlah, Pak. Mereka mau nurut ketika dibubarkan Bapak saja sudah bagus. Kebiasaan mereka memang sudah terlanjur berat. Sudahlah berpikir yang enak-enak saja buat mereka. Biar mereka kalah judi terus-menerus berhari-hari juga, orangtua mereka tidak akan jatuh miskin."

"Kok gitu sih Bapak ngomongnya? Kalau sering-sering berjudi, mereka bisa kerajingan. Gimana mau belajar, kalau di pikiran mereka hanya judi dan judi saja?"

"Ya, paling juga begok. Tapi ngga apa-apa begok jugak. Orangtua mereka juga ngga menuntut pintar. Yang penting sekolah, dan lulus es-em-a. Cukup sudah. Mereka begok juga punya toko. Setelah lulus, tinggal ikut dagang pada orangtuanya."

Eh, busyet! Aku jadi bengong mendengarkan penjelasan Wakasek. Biar begok juga punya toko ini, katanya.