Saturday, February 9, 2019

Charlie Chaplin, Komedian Paling Terkenal, dan Pengalaman Spritualnya

Charlie Chaplin, komedian paling terkenal, dan Pengalaman Spritualnya

Waktu masih kecil, Charlie diajak ayahnya menonton pertunjukkan sirkus. Mereka mengantri di depan loket pembelian karcis. Di depan  Charlie, tampak sebuah keluarga yang terlihat begitu gembira. Mereka terdiri dari suami istri dan keempat anaknya. Pakaian keluarga itu begitu sederhana, walaupun tidak dekil.  Tampaknya bukan dari keluarga kaya. Hanya keluarga sederhana yang terlihat begitu bahagia.

DAFTAR JADI MEMBER FINGO, KLIK DISINI


Ketika tiba giliran mereka harus membayar karcis. Sang bapak merogoh kantong celana, dan tampak kebingungan: uangnya tidak cukup untuk membayar 6 lembar karcis. Wajah bahagianya terlihat berubah drastis. Dia sedih dan murung, kemudian segera minggir dari antrian.

Ayah Chaplin melihatnya, dan langsung merogoh uang 20 dolar dari sakunya. Kemudian dengan sengaja menjatuhkan uang itu di samping bapak empat anak tersebut. Ayah Chaplin menepuk pundaknya, dan berkata, "Pak, uang anda jatuh."

Bapak itu menoleh, memandang , dan dia sadar bahwa ada orang mau membantunya supaya bisa beli 6 karcis. Matanya sembab, bibirnya tersenyum, dan dia ambil uang 20 dolar itu sambil berterimakasih.

Apa dan Bagaimana Daftar Fingo, Klik Disini


Ayah Chaplin pun tersenyum, lantas mundur menghampiri anaknya.  Chaplin melihat bapak itu segera beli karcis untuk keluarganya. Mereka tampak kembali sangat bahagia.

Chaplin lantas diajak pulang oleh ayahnya. Tidak jadi nonton pertunjukan sirkus. Ternyata, uang ayahnya hanya 20 dolar, dan sudah diberikan kepada keluarga tadi.

Menurut Charlie Chaplin, dalam hidupnya, itulah pemandangan yang paling menakjubkan. Pemandangan yang jauh lebih indah dibanding pertunjukan apapun di muka bumi ini.

Sejak saat itu Charlie Chaplin meyakini bahwa pendidikan terbaik adalah tindakan, bukan kata-kata.

Digubah dari tulisan Bapak Fidelis Waruwu

Wednesday, January 16, 2019

KAMISAH (cerpen recehan)

(cerpen recehan)
KAMISAH

"Ada salam dari Kamisah!"

Begitu pesan WA yang masuk di hp. Dari seorang teman lama, Jay namanya.

Sialan! Saya cuman ngeread aja. Malas menanggapinya. Sudah bertahun-tahun masih saja bahan bercandaannya kayak gitu. Seperti kurang nutrisi, bahan meledek kok yang itu-itu saja. Kamisah lagi Kamisah lagi. Ngga bosen-bosen.

Saya terkadang menduga, jangan-jangan setiap ingat saya, dia langsung ingat Kamisah. Sadis banget tuh anak, masa iya ingatannya kepada saya disejajarkannya dengan ingatannya terhadap bekas pembantunya dulu. Padahal kan saya ini teman akrabnya.

Sewaktu kerja di rumah Jay,  Kamisah masih sangat lugu sekali. Maklumlah  masih muda dan belum begitu lama tinggal di kota,  selain itu pendidikannya juga hanya sampai sekolah dasar saja.

Yang brengsek tuh si Jay. Dia senang banget menggoda pembantunya itu. Dia bilang kalau saya naksir padanya. Konyol betul. Yang membuat saya jengah, eh si Kamisah percaya aja lagi sama omongan juragan gebleknya itu. Makanya sepertinya dia  jadi sering cari-cari perhatian. Bolak-balik lewat ruang tamu, setiap kali jika saya sedang ada di rumah si Jay. Jengah rasanya.

Jay tampaknya seneng banget melihat saya serba salah.  Setiap Kali Kamisah lewat dekat saya, dia berdehem meledek. Jengkel banget lihat tingkahnya. Apalagi kalau sudah mulai berguman: "Cie...cie!" 
Bikin  mangkel. Pingin rasanya ngejitak kepalanya tuh anak.

Tapi walaupun begitu, Jay itu teman yang baik. Enak untuk diajak belajar atau berdiskusi. Selain itu  kakak-kakaknya juga ngga kalah baiknya, dan kalau masak pinter banget. Rasa masakannya enak-enak, dan yang terpenting gratis lagi. Makanya walaupun sering diejek, saya tetap sering ke rumahnya. Ngga pa pa lah diledekin juga, yang penting bisa ikut perbaikan gizi sambil belajar bareng tentunya.

Suatu hari ketika sedang seru-serunya bahas kalkulus berdua, sempat-sempatnya si Jay memulai konfrontasi.

"Kamisah, sini! Dipanggil nih sama abangmu!" teriaknya membuyarkan integral rangkap dua yang nyaris nempel di kepala.

"Apaan sih Lo! Jangan macem-macem deh!" protes saya.

Jay malahan nyengir kuda. Sedangkan Kamisah dengan malu-malu langsung menghampiri saya.

"Ada apa ya, Bang?"  tanyanya sambil menunduk.

Hadeh! Siakul bener! Mau ngga mau saya harus ngomong. Kalau mengelak, saya kuatir si Kamisah merasa dipermainkan.

"Cuman mau nanya aja. Kamu tuh lahirnya hari Kamis, ya?" tanyaku sekenanya.

"Sok tau, deh! Orang saya lahir hari Senin sih."

"Kok, namanya Kamisah?"

"Ya, memang begitu pemberian bapakku. Kata bapakku, Kamisah itu artinya berbahagia. Bisa juga berarti pernikahan."

Dengan cepat Jay langsung nyamber: "Tuh, apa gue bilang! Sudah memang cocok, kok.  Berbahagia kalau menikahinya. Cie....cie!"

Gedubrak!

Langsung saya lempar tuh anak pakai buku kalkulus. Makan tuh kalkulus!


Monday, January 14, 2019

Guru BP

Perbanyak Guru BP Untuk Menjawab Sikap Kritis Orangtua

Akhir-akhir ini beranda fb banyak sekali beredar postingan atau berbagi tautan tentang gugatan orangtua terhadap guru (sekolah). Sebabnya adalah guru dianggap telah melakukan penganiyayaan terhadap siswanya, tentu ini menurut orangtua. Sebaliknya guru menganggap bahwa tindakannya tersebut masih berupa sebuah proses pendidikan, dimana siswa yang melanggar peraturan harus diberikan sangsi. Dan karena kesalahannya sudah berulang kali dilakukan, atau dianggap cukup berat maka guru memberikan sangsi yang cukup berat juga.

Pro dan kontra komentar saling meramaikan permasalahan ini. Saya tidak mau memasuki wilayah pro dan kontra tersebut, karena wilayah ini sudah terlalu banyak penghuninya, bahkan seringkali menjurus ke debat kusir. Saya berusaha melihat dari sisi yang lain, yang barangkali banyak terlupakan.

Saya ingin mengulas tentang perlunya guru Bimbingan Penyuluhan dan Bimbingan Karir (BP/BK) di setiap tingkat sekolah.

Sesungguhnya setiap guru, apapun mata pelajaran yang dipilihnya, memang dibekali oleh ilmu pendidikan dasar dan psikologi pendidikan. Tapi karena bekalnya minim, maka  sering kali guru jadi gelagapan menghadapi berbagai karakter siswa, yang berasal dari berbagai latar belakang keluarganya.

Oleh karena itu tidak jarang seorang guru salah mengambil tindakan terhadap siswa yang berbuat melanggar aturan. Lebih parah lagi kalau kesalahan itu berupa tindakan memberi sangsi berupa hukuman fisik terhadap siswa. Sementara kebenerann  orangtua siswa yang dikenai sangsi itu terlalu lebay mensikapinya, begitu lebay membela anaknya. Maka bermunculan peristiwa-peristiwa tidak produktif seperti yang sekarang banyak diberitakan, perseturuan orangtua dan guru. Akibatnya bisa dipastikan malahan membuat pembentukan karakter siswa jadi terhambat, kalau tidak mau disebut menjadi tambah jelek karakternya.

Sementara itu ada tenaga-tenaga guru yang relatif lebih banyak dibekali oleh ilmu pendidikan dan Psikologi, seperti tenaga guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP/BK), amatlah kurang terserap di sekolah-sekolah.

Guru BP/BK selama ini memang seperti bukan tenaga guru prioritas yang harus ada di setiap sekolah. Banyak sekolah-sekolah yang tidak memiliki guru BP/BK. Dan andaikan adapun, beban mereka teramat banyak. Padahal pendidikan di Indonesia menitikberatkan kepada pendidikan karakter. Oleh karenanya seyogyanya, sebuah sekolah boleh saja kekurangan guru Matematika misalnya, asalkan tidak kekurangan guru Bimbingan Penyuluhan dan Bimbingan Karir.

Diharapkan dengan terpenuhinya kebutuhan tenaga guru BP/BK, maka penangganan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan karakter siswa  dapat lebih profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga dapat meminamilisir kesalahan bertidak dari para guru, yang akhirnya membuat masyarakat puas akan pelayanan sekolah.
Sehingga kemudian tujuan besarnya terlaksana. Diharapkan kelak terciptalah generasi masa depan yang lebih baik karakternya dibanding generasi sekarang.

Sebagai penutup saya jadi ingat ucapan Perdana Menteri Australia (kalau tidak salah), dia tidak kuatir anak-anak negerinya tidak semuanya pandai matematika, tapi dia sangat kuatir apabila ada anak yang tidak bisa dan tidak biasa mengantri untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu.

Bicar Sunjaya

Sunday, January 13, 2019

14 Januari 1996

14 Januari 1996

Kepala pusing. Ngomong sering ngaco. Menghayal ngga habis-habis. Tetapi ada perasaan bahagia yang menyelimuti perasaan-perasaan tadi. Itu yang kurasakan di hari-hari menjelang tanggal itu.

Gimana ngga galau, tanggal pernikahan sudah ditetapkan, tapi tabungan ngga mencukupi. Tadinya pernikahan akan diadakan setengah tahun lagi. Rasanya akan cukuplah ngumpulin duit buat acara pernikahan yang sederhana sih. Tapi apa mau dikata, orangtua si sayang minta dipercepat. Ditangtangin begitu ya aku sih siap-siap aja. Meskipun jadi pusing, tapi  tetap campur senang.

"Sudah biar mas kawin dari tabungan ibu aja. Cukuplah untuk beberapa gram aja sih," ibuku siap membantu. Menyisihkan dari tabungannya.  Bahkan bukan itu saja, ibu juga  mau memberikan beberapa barang buat barang-barang bawaanku saat pernikahan.

Tapi kebutuhanku masih kurang banyak. Tabunganku terpakai membeli sepasang cincin untuk acara tukar cincin dua bulan lalu, dan sisanya dipakai untuk membeli barang-barang bawaan buat lamaran.

Dengan berat hati, akupun bercerita tentang kesulitanku kepada orangtua si sayang.

"Ya, sudah cincin tunangan itu jual lagi aja. Ganti buat menambah biaya acara pernikahan. Lagipula tukar cincin kan ngga mesti, sedangkan syukuran pernikahan kan harus meskipun sederhana," kata ortu si sayang memberi solusi yang luar biasa meringanku. Alhamdulillah.

Tapi acara syukuran pernikahan kan biayanya ngga sedikit, sedangkan cincin tunangan ngga seberapa banyak. Memang benar acara syukurannya di kediaman orangtua si sayang, tapi masa iya aku menyerahkan sebagian besar pada orang tua si sayang, kan malu-maluin banget. Tapi mau bagaimana lagi, aku ngga punya jalan keluar, kecuali terpaksa minjam.

"Yang, aku mau pinjam uang sama si Muis," kataku pada si sayang. Karena hanya Muis, teman kuliahku dan keluarganya yang mungkin bisa kumintai pinjaman. Aku merasa sudah akrab dengan keluarga temanku itu.

"Buat apa?"

"Ya, buat acara syukuran pernikahan kita lah. Aku sudah ngga punya duit. Mudah-mudahan dia atau orangtuanya bisa membantuku."

"Ya, sudah. Terserah saja."

"Tapi sebelumnya aku harus bilang sama kamu. Karena uang itu boleh dari minjam, maka tentu saja harus dibayar.  Jadi nanti itu jadi hutang kita setelah menikah. Gimana menurutmu?"

Si Sayang menyetujui. Akhirnya aku datangi temanku Muis, dan bercerita apa adanya. Alhamdulillah, dia dan keluarganya mau meminjamkan uang sejumlah dua juta rupiah. Bukan jumlah yang kecil saat itu, harga emas perhiasan saja masih sekitar tigapuluhribu rupiah per gram. Alhamdulillah lagi. Untung aku punya sahabat yang baik, dan kebenaran sedang ada uang.

Untuk mengirit budget segala hal kusiasati. Banyak hal yang kubuat agar keluar uangnya tidak banyak.  Jas untuk acara pernikahan aku tidak membelinya, apalagi boleh memesan dari suatu tailor.  Aku hanya minjam dari seorang teman yang punya jas. Seratus persen pinjaman cuma-cuma. Tetapi karena jas pinjaman, yang sesuai dengan tubuhku hanya atasannya saja, sementara celananya terlalu pendek. Tapi biarlah yang penting pakai jas. Syukur juga ada yang menjamin. Alhasil warna jas dan celananya berbeda waktu acara ijab Kabul.

Selain itu rombongan yang terdiri dari teman dan saudara hanya sedikit saja yang kuajak ke Garut, kampungnya istri. Itu untuk mengirit ongkos. Bodo amat yang penting sah, dan bisa nikah. Asyik!

Tuesday, January 8, 2019

Siapa Sih Raja Juli Antoni?

Siapa Sih Raja Juli Antoni?

"Memangnya siapa tuh bocah?" tanya si Entang meremehkan. "Dari namanya aja sudah kebarat-baratan gitu. Pastilah ngga ada sentuhan keagamaannya," kali ini malahan sok tahu.

"Jangan nilai orang dari namanya, Bray! Jangan karena elo ngga suka karena dia itu sekjen dari salah-satu partai politik  baru, terus elo meremehkan dia. Apalagi sampai-sampai menilai keagamaan seseorang dari namanya saja."

"Ok, sorry! Coba kasih tahu gue, siapa Raja Juli Antoni itu?"

"Orang yang elo bilang namanya kebarat-baratan itu lulusan UIN Jakarta."

"Yaelah, orang lain juga banyak yang lulusan UIN kali. Apa istimewanya?"

"Jiah, kan elo tadi meremehkan keagamaan dia. Makanya gue ceritain, kalau dia itu lulusan Universitas Islam Jakarta. Gitu, loh."

"Terus apalagi?"

"Selain lulusan UIN Jakarta,  latar belakang keislamannya bukan hanya itu saja. Dia adalah lulusan pesantren terkenal di kalangan Muhammadiyah, lulusan Ma'had Darul Arqom Muhammadiyah Garut. Jelas terkenal, makanya orangtuanya yang tinggal di Pekanbaru Riau, bela-belain jauh-jauh mondokin anaknya sampai ke Garut. Lagipula ngga gampang seorang calon siswa bisa masuk ke sana. Saringannya berat dan saingannya juga banyak. Sudah gitu, selama belajar disana,  Raja bukan jadi pelajar yang biasa-biasa saja, dia adalah pelajar  yang istimewa. Dia sempat menjadi Ketua Umum PP Ikatan Pelajar  Muhammadiyah (IPM). Asal tahu nih,  untuk jadi Ketua Umum di salah-satu organisasi underbow  sekelas Muhammadiyah bukanlah main-main. Jelas kemampuan keagamaan dan keorganisasian sudah cukup mumpuni di kalangan pelajar-pelajar lainnya se-Indonesia."

"Oke-oke, gue sekarang baru tahu kehebatannya tuh anak. Terus apalagi?"

"Raja adalah  lulusan S2 di Universitas Bradford Inggris dan meraih gelar Ph.D dari Universitas Queensland Australia, Hebatnya di kedua Universitas besar itu, dia diterima karena dapat beasiswa."

"Keren juga rupanya dia itu. Terus kenapa kiprahnya di masyarakat ngga terdengar selama ini?"

"Bukan ngga terdengar. Elo aja yang kuper. Dia itu aktif di organisasi Muhammadiyah. Bahkan sempat jadi salah-satu calon pengurus pusat  pada periode 2015-2020, tapi terus mengundurkan diri. Selain itu, dia juga  sempat dipercaya menjadi Direktur Eksekutif Maarif Institut, lembaga think tank yang didirikan oleh Buya Syafii Ma'arif."

"Wadow, ternyata keren juga ya. Terus kenapa orang-orang ngomongin yang jelek-jelek tentang dia?"

"Maklumlah namanya juga politik .Bisa jadi karena politik, orang jadi ngomong macam-macam tentang dia. Apalagi lawan politiknya, pastilah yang diomongin yang jelek-jeleknya saja. Dan terus ditelen mentah-mentah sama orang kuper kayak elo, deh."

"Gue bukannya kuper. Gue laper!"

"Pantes rese! Orang kayak elo kan, laper rese kenyang bego!"

"Sialan Lo!"

"Gue bukan Si Alan. Si Alan kan suaminya Susi Susanti. Ngga tau lagi siapa itu Susi Susanti?"

"Taulah gue! Menteri Kelautan, kan?"

Kesel! Saya lempar handphone tuh si Entang. Biar senasib sama artis idolanya.