Thursday, February 19, 2009

GURU VS GOOGLE

DIDAKTIKA
Guru Lawan Google
Senin, 16 Februari 2009 | 00:35 WIB

R Arifin Nugroho

”It is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change." (Charles Darwin)

Saat ini perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadi pilar utama penyempurnaan hidup di muka bumi. Akibatnya, berbagai perubahan harus selalu terjadi setiap saat.

Sesuai pernyataan Charles Darwin, jika manusia tidak ingin mengalami kepunahan, mereka harus memiliki sifat adaptif. Dalam menjalankan proses adaptasi tersebut diperlukan efektivitas untuk merespons perubahan.

Akibat perilaku yang harus adaptif ini muncul teknologi komunikasi yang mampu melintasi sekat ruang dan waktu. Perubahan di dunia dapat diketahui lewat sebuah laptop hanya dalam hitungan detik.

Agen pendidikan

Salah satu teknologi canggih yang mampu memfasilitasi ilmu pengetahuan adalah Google. Google yang lahir dari pertemuan tidak sengaja antara Larry Page dan Sergey Brin pada tahun 1995 telah membalikkan sekat keterbatasan informasi.

Embrio search engine yang diberi nama BackRub, pada tanggal 7 September 1998 berkembang sempurna menjadi Google. Mesin pencari supercanggih ini dapat mencari sebuah istilah hanya dalam satuan detik yang tersaji dalam jutaan situs internet.

Di dunia pendidikan, search engine ini mampu mengubah jejaring pemikiran para pelaku pendidikan. Seorang siswa dapat searching seluas-luasnya untuk mengeksplorasi sebuah pengetahuan baru. Dari mencari arti kata, materi pelajaran, sampai teknologi yang terkini dapat digali dengan mudah.

Banjir informasi menjadi fenomena yang sangat indah untuk dinikmati. Pemahaman tentang sebuah materi pelajaran pun terolah dengan lebih baik. Siswa tidak lagi harus mengeluarkan banyak biaya untuk membeli berbagai judul buku. Cukup klik dan dapat!

Para pendidik juga tidak ketinggalan atas kehebatan teknologi mesin pencari ini. Dari pencarian silabus, soal ulangan, sampai artikel ilmiah terbaru dapat diakses dengan mudah. Transfer ilmu pengetahuan antara guru dan siswa dapat berjalan dengan efektif. Libido ilmu pengetahuan yang selama ini terkekang sekarang dapat tersalurkan dengan nyaman.

Lebih dari Google

Suatu saat pernah seorang guru menjadi merah padam di depan kelas akibat Google ini. Pagi itu seorang siswa sudah ”sarapan” dengan mengakses perkembangan teknologi terbaru melalui fasilitas Google.

Kebetulan, materi pelajaran hari itu berhubungan dengan teknologi terkini yang ia temukan. Singkat cerita, di dalam kelas, siswa mencobai gurunya dengan bertanya seputar teknologi terbaru itu. Guru yang tadi pagi hanya sarapan nasi dan tempe itu akhirnya menjawab sekenanya, dan ternyata salah. Ia pun tergagap di depan kelas karena ditertawakan para murid akibat kesalahan yang ia lakukan.

Sekelumit gambaran tadi menunjukkan pentingnya seorang guru untuk selalu meng-up grade diri. Siswa masuk kelas bukan lagi dengan tidak bermodal, tetapi telah penuh dengan fantasi dan eksplorasi ilmiahnya.

Melihat situasi ini, lantas masih perlukah peran seorang guru? Bukankah Google lebih hebat daripada guru?

Jika seorang guru diadu dengan Google dalam kecepatan mengartikan, jelas guru akan kalah telak. Lalu, bagaimana nasib seorang guru selanjutnya?

Perlu diingat bahwa seorang guru bukan hanya pengajar yang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang memanusiawikan manusia menjadi sempurna. Yesus Sang Isa Almasih pernah berkata, ”Jadilah kamu sempurna seperti Bapamu di surga sempurna adanya (Injil Matius 5:48)”.

Ilmu eling marang sangkan paraning dumadi (ingat akan tujuan kita diciptakan) menjadi bekal dasar seorang guru. Guru bukan sekadar pesaing dari Google sebagai alat mentransfer ilmu pengetahuan. Guru memiliki peran lebih untuk menyempurnakan kehidupan seorang pribadi agar serupa dengan Sang Khalik. Tidak hanya menjadikan siswa having, melainkan being.

Seperti dalam agama Hindu, guru bukan saja dinobatkan sebagai sang pembagi ilmu, tetapi sebagai tempat suci yang berisi ilmu (vidya). Hal ini semakin menguatkan peran guru yang sangat mulia.

Guru masih lebih unggul daripada Google karena guru mampu mengajarkan sisi humanis yang tidak dapat diberikan mesin pencari secanggih apa pun. Dalam kehidupan nyata tidak hanya diperlukan berlimpahnya ilmu pengetahuan dalam otak, tetapi juga sisi manusiawi agar bisa memanusiawikan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan memanusiawikan manusia saat berelasi dengan pribadi lain.

Bukan kebun binatang

Jika guru tetap sebatas mentransfer ilmu, sekolah tidak jauh berbeda dengan kebun binatang. Sebenarnya pendidikan bukanlah proses ”penjinakan”, tetapi ”peliaran”. Pendidikan kita seharusnya berusaha ”meliarkan”, memunculkan sifat manusiawi sebagai sifat dasar yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada makhluk yang diberi nama manusia.

Pendidikan bukanlah seperti kebun binatang dengan hiburan sirkus binatang di dalamnya. Di dalam kebun binatang terjadi proses domestikasi, yaitu membatasi kehidupan liar binatang. Akibatnya, sifat hewani tidak akan muncul dari dalam kebun binatang.

Jeruji, tembok pembatas, dan ransum makanan menjadi cara untuk domestikasi. Atraksi berbagai binatang yang sering kita jumpai di kebun binatang semakin meyakinkan pembatasan kehidupan mereka. Para binatang tidak lagi diajar untuk bisa survive di kehidupan hewani liarnya, tetapi justru diajar untuk melakukan tindakan-tindakan aneh.

Mana mungkin di tengah hutan ada monyet naik sepeda. Mana mungkin di tengah samudra yang penuh kompetisi dapat diatasi lumba-lumba karena kecerdasannya dalam mengerjakan soal penjumlahan.

Jika guru telah lupa untuk mengajarkan sifat manusiawi suatu ilmu pengetahuan dan memanusiawikan peserta didik, pendidikan yang terjadi tidak jauh berbeda dengan situasi di kebun binatang.

Pemahaman kita perlu disegarkan kembali bahwa teknologi hanyalah hasil akhir dari ilmu pengetahuan yang bersifat material, bisa rusak, bisa berubah, dan suatu saat bisa tidak bermanfaat. Karena itu, interaksi antarmanusia yang didasari kontak teknologi belaka akan terasa kering karena bersandar pada nilai material.

Pendidikan tidak dapat bersandar pada teknologi semata, melainkan juga harus melibatkan hati yang dimiliki setiap pribadi manusia.

Akhirnya ungkapan Charles Darwin akan semakin tepat dan survive jika dipadu dengan ungkapan indah Mariah Carey dalam lagunya yang berjudul ”Hero”: If you look inside your heart… you know you can survive. (Jika engkau becermin ke dalam hatimu, engkau tahu bahwa engkau bisa bertahan!)

R ARIFIN NUGROHO Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

BEBERAPA TANGGAPAN DARI TEMAN MILIS

Milis yang berbahagia.

Ceritanya biasa tapi menarik dan menantang. siswa meminta komentar guru tentang informasi baru yang telah diaksesnya, dan guru dengan PD merespon tetapi tidak tepat karena mamang sang guru kita tidak mampu/sempat mengaksesnya. Dua sisi teknologi informasi : memudahkan menyiapkan informasi lebih lengkap, up to date dan mudah diakses tapi menyulitkan : membutuhkan upaya tambahan untuk mengakses yang tidak selalu mampu dipenuhi oleh guru.
Sebagai seorang profesional, guru harus berusaha (baca: mampu) menguasai dan mengikuti perkembangan termasuk teknologi, tapi sebagai manusia, guru tentu punya keterbatasan. Karena hal ini, guru perlu kreatif tanpa henti (berupaya belajar, merubah metoda belajar dengan berefleksi, membentuk grup belajar kreatif, numpang ke alat kawan,dll), juga lingkungan (komite sekolah, LSM, stake holders pendidikan dll) perlu membantu guru. Hal ini tantangan baru dalam menyusun strategi manajemen sekolah/pembelajara n.

Tentu disayangkan kalau guru tidak mengakui ketidaktahuannya. Dalam zaman kesaratderasan informasi yang dapat diakses darimana dan kapanpun, sebaiknya guru mengakui ketidaktahuannya, jangan pura-pura tahu, jangan pula tidak mau tahu. Berusahalah tahu perkembangan informasi, dan yang lebih penting membantu siswa memilih, mengakses dan memperoleh informasi yang 'edukatif' serta memastikan siswa memperoleh efek positif dari informasi yang diperolehnya.

Selanjutnya saya setuju : fungsi guru tidak seluruhnya dapat digantikan oleh alat sekalipun bertehnologi tinggi. Pendidikan bukan hanya masalah menguasai informasi seperti didengungkan "siapa menguasai informasi menguasai dunia". Tujuan pendidikan kita bukan hanya masalah 'tahu' tapi secara kreatif cerdas menggunakan pengetahuan, bukan hanya memiliki pengetahuan perasaan dan metakognisi tapi pengalaman perasaan dan metakognisi, bukan hanya kemampuan individual untuk bersaing tapi kemampuan membuat sebaik mungkin dan seefektif mungkin jaringan (tentunya melalui kerjasama) untuk meningkatkan kemampuan bersaing diri. Teknologi informasi dapat menyediakan informasi tapi tidak dapat menyediakan pengalaman kerjasama secara langsung dan vulgar, pengelolaan perasaan siswa yang sedang mencari identitas, pengalaman kontak batin dengan sesama dan harmoni kehidupan, sebagai mana guru dapat melakukannya di tempat pembelajaran. Alat teknologi dapat membantu menyediakan informasi pengenalan diri bagi siswa, tapi tidak dapat melayani mereka dengan hati sebagai mana guru dapat melakukannya. Teknologi dapat menyediakan informasi bahkan memberi kemudahan untuk mengaksesnya, tapi teknologi tidak dapat membantu siswa memilih secara selektif dan mengawasi efek informasi yang diperolehnya sebagamana guru dapat melakukannya lebih baik. Sebaiknya guru tidak ditempatkan sebagai lawan, tapi 'sahabat' dalam memajukan pendidikan anak bangsa. Bravo tuk guru


--- On Mon, 2/16/09, Budi K. Hendra wrote:

From: Budi K. Hendra
Subject: [puskur] Cuma mo sharing aja..
To: puskur@yahoogroups. com
Date: Monday, February 16, 2009, 3:20 PM


Tulisan yang membuat kita tersadar sangat sedikit guru yang familiar internet, menyedihkan ...hatiu - hati kelibas zaman

--- On Mon, 2/16/09, rasinta eveline wrote:

From: rasinta eveline
Subject: Re: [puskur] Cuma mo sharing aja..
To: puskur@yahoogroups. com
Date: Monday, February 16, 2009, 12:11 PM

Kalau saya memandang berkenaan dengan tulisan Guru VS Geogle sebagai suatu tantangan bagi guru untuk terus berusaha MEMOTIVASI siswa mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sedangkan pekerjaan memotivasi adalah pekerjaan guru yang paling berat.Bahkan beda guru yang prof dan yang tidak adalah masalah kemampuan memberi motivasi ini. Bahkan menurut saya, seorang guru tidak perlu terlalu pintar, tidak mesti juga harus memaksakan diri belajar TIK ( tentu saja sebaiknya iya). Asalkan dia mahir memberi motivasi.

bicarisme.blogspot. com


Seru juga baca guru vs google.
Saya setuju, jika guru pun memang sudah seharusnya menambah terus pengetahuannya, agar tak tertinggal.

Saya pernah berkunjung ke almamater saya di SMPN 19 Jakarta, kira-kira setahun yang lalu.
Dan bertemu dengan Pak Slamet, guru IPA (Biologi) yang notabene lumayan sudah "sepuh".
Tapi, beliau sungguh luar biasa menurut saya.
Kenapa...?
Karena, dengan usia yang sudah hampir pensiun,
beliau masih semangat mengajar, mengetik sendiri dengan komputer paket pembelajaran untuk siswa-siswanya.
Dan, mencari bahan pembelajaran tidak hanya dari buku yang ada,
tapi juga dari internet.

Ada yang masih teringat kata-kata beliau untuk saya:
"Ayo donk, kamu anak muda, jangan kalah sama saya yang sudah tua".

www.hastuti105. multiply. com